Dan di hari-hari ini seseorang akan bercerita
tentang nurani yang terluka oleh zaman. Atau ini hanya sekadar cerita tentang
barang yang paling mahal sedunia.
Entah bagaimana asal-usulnya, di hari yang
ganjil itu, di bulan Februari tanggal 14 itu, orang-orang paling kaya
sedunia berkumpul di pasar termahal yang pernah ada. Seorang bocah laki-laki
berpakaian kumal duduk bersimpuh di suatu sudut. Seorang super kaya berjalan
pelan menghampirinya.
“Barang apa yang kau jual, nak?”
“Oh ya? Benarkah? Barang apa yang kau jual,
nak?
“Tuan takkan sanggup membelinya”
“Semahal itukah barangmu, nak? Bagaimana
kalau saya bayar dengan gunung?”
“Ini bahkan lebih mahal dari segunung uang,
Tuan”
“Bagaimana kalau saya bayar dengan laut ?”
“Ini bahkan lebih mahal dari lautan permata”
“Ehm, bagaimana kalau saya bayar dengan
pulau?”
“Tidak, Tuan, barang ini bahkan lebih mahal
dari pulau intan berlian”
“Baiklah. Ini tawaran terakhir, nak.
Bagaimana kalau saya bayar dengan semua yang saya tawarkan tadi plus semua yang
saya miliki?”
“Sudahlah Tuan, barang ini bahkan lebih mahal
dari semua yang Tuan tawarkan.”
“Sebenarnya apa yang kau jual, nak?
Dengan perlahan dan sangat hati-hati si bocah
mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Di telapak tangannya benda mungil itu
berkilauan sangat indah tertimpa cahaya matahari.
“Apa itu, nak?”, dengan takjub si superkaya
bertanya.
“Ini hati nurani, Tuan. Lengkap dengan cinta
dalam sepotong roti*”
“Benarkah? Memang berapa harganya, nak?
“Ini seharga langit dan bumi, Tuan. Dan sudah
saya katakan, tak seorang pun sanggup membelinya”
“Hemm..seharga langit dan bumi ya? Tapi masih
bisa ditawar, kan?”
Si bocah menggeleng, “Ini harga mati, Tuan,
tak bisa ditawar lagi”
“Saya ingin sekali memiliki barang itu dan
saya rasa saya sanggup membelinya”
“Dengan apa Tuan akan membayarnya?
“Saya punya sekeping uang logam dari surga.
Surga yang seluas langit dan bumi, nak. Bagaimana? Harga yang pantas bukan?”
“Emm…Baiklah, jika Tuan memaksa. Saya hanya
menerima cek, Tuan”
***
Sesampainya di rumah, si super kaya pun
berseri-seri karena hari itu ia berhasil membeli sesuatu yang amat berharga.
Sesuatu yang kini makin langka di pasaran. Sambil beristirahat di kursi malas
ia pun menulis dalam buku hariannya:
“Pada akhirnya, orang
yang merasa paling suci sekalipun akan sampai pada kesimpulan: uang bisa
membeli segalanya. Termasuk moral, harga diri, kehormatan, hati nurani, atau
apapun namanya, bahkan cinta sekalipun.
Kalaupun ada yang bilang
bahwa hal-hal seperti itu tak bisa dibeli dengan uang, itu hanya karena mereka
yang masih memilikinya tak mau menjualnya. Itu saja, sederhana.
Jika mereka mau
menjualnya, maka semua memang ada harganya. Dan dengan uang semua itu bisa
dibeli. Sederhana memang. Toh ini hanya persoalan jual-beli. Tak lebih dari
itu.
Dan pada hakikatnya,
orang yang bersedia menjual hal-hal itu sangatlah miskin adanya karena mereka
tidak punya lagi hal yang paling berharga dalam diri mereka. Selama mereka
masih menyimpannya baik-baik dan tidak menjualnya, sebenarnya merekalah
orang-orang paling kaya sejagat raya. Dunia pun berada dalam genggaman mereka.”
***
“Saya masih punya satu barang lagi, Tuan.
Tapi yang satu ini takkan pernah saya jual. Apa pun imbalannya.”
“Barang apa itu, nak?”
“Kasih ibu sepanjang masa. Bagai sang surya
menyinari dunia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar